Ratusan Warga dan Forum Ambunu Bersama (Forbes) Sulawesi Tengah mengklaim Kehadiran BTIIG/PT IHIP membawa perubahan yang signifikan dalam tatanan sosial dan ekonomi di desa-desa terdampak. Bahkan, Perusahaan dianggap tidak menjalankan proses ganti kerugian yang layak dan adil.
Sehingga para warga yang bertani terpaksa menjual lahan perkebunannya, dan beralih profesi. Penyerobotan lahan dan penguasaan asset desa juga menjadi polemik yang berkepanjangan.
Tidak hanya mengurangi tutupan lahan pertanian, perusahaan juga melakukan reklamasi dan penebangan hutan bakau yang memaksa nelayan melaut lebih jauh.
Dikatakan Ramdan Annas dalam aksi unjuk rasa pagi tadi, Jumat 11/04/2025. Kehadiran perusahaan memang telah membuka peluang ekonomi baru, namun tidak begitu dirasakan mayoritas penduduk setempat.
“Kondisi yang cukup miris dirasakan adalah pemberdayaan lokal didalam Kawasan industri baik sebagai pekerja maupun sebagai pengusaha dimana kesempatan bekerja dan berusaha dikuasai oleh pengusaha dan pekerja luar.
Sebagian penduduk setempat dan pendatang bekerja di PT IHIP, membuka indekos, atau menjalankan usaha pertokoan di sekitar kawasan industri. Namun, perubahan demografi tersebut melahirkan permasalahan lingkungan, seperti tumpukan sampah, jalanan berdebu, dan air tanah keruh,”urainya.
Sehingga kata dia, Degradasi lingkungan semacam ini meningkatkan jumlah kasus diare dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Berbagai persoalan dialami juga oleh pekerja kasar PT IHIP. Dibandingkan dengan total jam kerja dan biaya hidup, upah yang mereka terima tergolong rendah.
Tak hanya sampai disitu, Akomodasi yang disediakan perusahaan pun dianggap tidak layak huni (bangunan sanitasi buruk). Beberapa pekerja dipecat sepihak oleh perusahaan karena diduga mereka memiliki hubungan saudara atau kekerabatan dengan warga yang masih menolak pembebasan lahan atau terlibat dalam aksi perjuangan hak masyarakat Kawasan industri. Kondisi-kondisi tersebut menempatkan pekerja pada posisi yang lemah.
“Seiring dengan pengembangan kawasan PT IHIP, kualitas air sungai dan laut mengalami perubahan. Bahkan sejumlah sungai tertimbun dan tidak lagi mengalir hingga ke laut yang mengakibatkan banjir.
Dalam air Sungai Ambunu yang menyempit karena adanya aktivitas pembangunan waduk, di muara terdapat pembuangan air limbah PLTU. Dengan acuan baku mutu Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021.
Tidak hanya menyebabkan kematian terumbu karang, konsentrasi kromium heksavalen di laut dapat terakumulasi dalam tubuh ikan yang kemudian dikonsumsi oleh manusia.
Jika konsentrasinya terus meningkat, senyawa ini dapat mengubah morfologi tubuh, merusak sistem pencernaan atau bahkan menyebabkan kanker,”beber Ramadab.
Dengan aksi prores ini, Forum Ambunu Bersatu berharap Gubernur Sulawesi Tengah mampu mengambil Langkah kongkret untuk mencarikan solusi terbaik.
Adapun tuntutan masyarakat Desa Ambunu dan warga sekitar Kawasan antara lain :
1. BTIIG/PT IHIP segera bertanggungjawab atas pencemaran lingkungan yang disebabkan atas aktivitas produksi, polusi debu smelter dan PLTU mengakibatkan warga lingkar industri terpapar ISPA.
Menjaminkan pengobatan Kesehatan bagi warga yang didiagnosa ISPA. Kompensasi debu bagi Desa terdampak langsung serta segera merelokasi pemukiman yang masuk area zona merah.
2. Kompensasi pinjam pakai atas penggunaan jalan tani Desa Ambunu serta realisasi tukar guling kebun Desa.
3. Transparansi dan pertanggungjawaban Dana CSR
4. Pemberdayaan Tenaga Kerja lokal(pada posisi strategis) serta Pemberdayaan Pengusaha lokal (kontraktor, supplier, LPTKS, treader, Agen kapal, PBM, TKBM dll)
5. Menghapus kebijakan/aturan Kawasan terkait kewajiban karyawan untuk tinggal di Mes, demi menghidupkan usaha kos-kosan.
6. Penyelesaian pembayaran lahan masyarakat serta biaya pajak sesuai kesepakatan jual beli lahan.
7. Realisasi janji BTIIG/PT IHIP atas penyediaan air bersih, listrik murah, penanganan sampah dan limbah.
8. Penyelesaian pembayaran kerugian pembudidaya rumput laut atas pencemaran akibat reklamasi pantai.
9. Restrukturisasi manajemen HRD dan Eksternal BTIIG/PT IHIP yang tidak berpihak pada pemberdayaan lokal. (*)