Gaskanindonesia,Lutim- lingkungan dan masa depan pembangunan berkelanjutan di wilayah pertambangan menjadi sorotan utama dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh DPRD Kabupaten Luwu Timur bekerja sama dengan Universitas Muhammadiyah (UM) Palopo, Senin 21 Juli 2025.
Dengan tema “Implementasi dan Optimalisasi Model Kebijakan Green Economy di Wilayah Konsesi Tambang Berkelanjutan”, FGD yang berlangsung di Kantor DPRD Luwu Timur ini menghadirkan berbagai pihak penting, seperti perwakilan PT Vale, PT CLM, Bapelitbangda, serta para peneliti dari UM Palopo.
Kegiatan ini dipimpin oleh Dr. Rismawati, SE., MSA., CSRS., CSRA., CSP., CRMP., CMA., CERA, bersama anggota tim peneliti Dr. Suaedi, MSi., dan Haedar, SE., MM.
Diskusi berlangsung hangat dan kritis. Salah satu anggota DPRD Luwu Timur, Mahading, menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada riset mendalam yang secara serius membandingkan kerusakan lingkungan dengan kontribusi ekonomi perusahaan tambang.
“Apakah kerusakan alam yang ditimbulkan sebanding dengan PAD yang dihasilkan? Kita harus berhitung jujur. Jangan sampai kita terbuai angka investasi tapi mengabaikan kehancuran yang terjadi,” ujar Mahading.
Ia juga menyoroti potensi konflik sosial akibat minimnya transparansi dan kepercayaan publik terhadap perusahaan tambang.
“Ketika 45 ribu orang diproyeksikan bekerja, siapa yang memastikan sebagian besar dari mereka adalah warga lokal? Jangan sampai kita hanya jadi penonton di tanah sendiri.”
Mahading bahkan menyebut kekhawatiran atas benturan budaya dan krisis ekologis jika kebijakan tidak mengantisipasi dampak secara menyeluruh.
Senada dengan itu, Yusuf Pombatu, legislator lainnya, menyuarakan pengalaman pribadinya sebagai putra daerah yang tumbuh di sekitar kawasan pertambangan.
“Dulu air danau bisa kami minum langsung. Sekarang sudah tidak bisa lagi. Lumut menumpuk, air tercemar, dan pemukiman semakin terjepit,” tuturnya lirih.
Ia juga menambahkan bahwa persoalan limbah — baik domestik maupun industri — belum tertangani secara optimal.
Yusuf meminta agar investigasi terhadap pencemaran di beberapa titik seperti Sungai Malili dan Danau-danau kecil segera dilakukan.
“Ada banyak laporan masyarakat tentang air yang berubah warna, kulit gatal, bahkan muncul gejala penyakit. Ini tidak bisa kita anggap sepele,” ujarnya.
Tim dari UM Palopo menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan langkah awal untuk menyusun model kebijakan ekonomi hijau yang berbasis pada data, realitas lapangan, dan keberlanjutan jangka panjang.
Dr Rismawati menekankan bahwa pembangunan ekonomi seharusnya tidak meniadakan aspek keberlanjutan dan keadilan ekologi.
“Model kebijakan yang kami susun diharapkan bisa menjadi acuan tidak hanya untuk Luwu Timur, tapi juga daerah lain yang menghadapi tantangan serupa,” jelasnya.
FGD ini juga akan menjadi pintu masuk untuk merancang dokumen riset yang dapat dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan daerah, khususnya di sektor pertambangan.
FGD ini menegaskan pentingnya sinergi antara akademisi, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam secara bijak.
Di tengah gempuran investasi tambang besar-besaran, suara dari masyarakat akar rumput harus menjadi landasan dalam merancang masa depan yang lestari.
Sebagaimana ditekankan para peserta, tanpa kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan, kerusakan ekologis dan konflik sosial akan menjadi warisan pahit bagi generasi mendatang.