Luwu Timur,GASKANINDONESIA.COM- 16 Oktober 2025 — Di saat para petani di seluruh Indonesia merayakan Hari Pangan Nasional, kondisi berbeda justru dialami oleh masyarakat di Towuti, khususnya warga Desa Timampu dan Desa Matompi.
Alih-alih merayakan hari yang seharusnya menjadi simbol kedaulatan pangan, mereka justru berjuang di tengah krisis pengairan dan pencemaran akibat kebocoran pipa minyak PT Vale Indonesia Tbk.
Persoalan pipa minyak PT Vale tak henti-hentinya menjadi sorotan publik.
Hampir dua bulan pasca kebocoran pipa yang terjadi pada 23 Agustus 2025, masyarakat dua desa terdampak kini geram dengan janji PT Vale terkait pemberian kompensasi atas lahan sawah mereka yang rusak akibat tumpahan minyak.
Warga yang frustrasi akhirnya membuka paksa pintu pengairan sawah serta melepaskan penghalau minyak (sponge boom) di beberapa titik sungai.
Aksi spontanitas ini dilakukan sebagai bentuk kekecewaan sekaligus pembuktian terhadap klaim PT Vale yang menyebut kondisi perairan sudah aman.
“Kalau memang sudah aman, kenapa air masih ditahan dan kenapa masih ada penghalau minyak di sungai?” ujar salah satu warga yang enggan disebutkan namanya. 16/10/2025
Sebelumnya, PT Vale telah melakukan sosialisasi dan penyerahan kompensasi secara simbolis, namun hingga kini tidak ada kejelasan pencairan kompensasi bagi petani terdampak.
Warga juga menilai perusahaan berusaha membangun opini bahwa pembersihan telah selesai, padahal air irigasi masih tertutup dan rembesan minyak masih keluar dari sedimen sungai serta muara Danau Towuti.
Sementara itu, Amrullah, Ketua JKM LTI (Jaringan Komunikasi Lingkar Tambang Indonesia) yang juga tergabung dalam Jakam Lutim, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat kebocoran pipa minyak PT Vale belum tertangani secara serius.
“Tidak ada kata rembesan minyak sudah tidak ada — itu hanya akal-akalan PT Vale untuk meredam dampak sosial dan pelanggaran yang terjadi. Kami sudah lihat sendiri, minyak masih banyak bahkan tanah di pinggiran sungai jadi rapuh dan rawan longsor,” tegas Ulla JKM.
Ia juga menambahkan bahwa pengangkutan lumpur dan tanah dari muara Danau Towuti ke darat merupakan bentuk kerusakan lingkungan baru yang patut diselidiki.
“Pemerintah dan lembaga hukum jangan tutup mata. Ini persoalan lingkungan hidup dan masa depan pangan masyarakat,” tambahnya.
Aksi warga ini menjadi peringatan keras di Hari Pangan Nasional, ketika sebagian besar petani Indonesia merayakan hasil bumi, warga Towuti justru dihadapkan pada kenyataan pahit: sawah mereka tercemar, air tertahan, dan janji kompensasi tak kunjung ditepati.





